Mendidik Anak Dengan Keteladanan
Alkisah pada suatu masa di sebuah desa, hiduplah seorang ruhaniawan yang sangat alim dan rajin membantu serta melayani ummatnya. Bahkan, terdengar khabar bahwa do’a-do’anya yang di bacakan untuk menyembuhkan orang sakit sangat makbul.
Suatu hari, seorang anak di desa tersebut merasa sedih karena sapi satu-satunya miliknya sakit dan tidak bisa mengeluarkan susu seperti biasanya sehingga ia tak bisa menjual susu untuk keperluan dirinya. Masa itu tidak ada dokter hewan untuk mengobati sapinya. Dalam keputus-asaannya ia teringat kepada sang ruhaniawan yang hidup di desanya.
Akhirnya, ditengah malam yang dingin diiringi hujan lebat si anak pergi menemui sang ruhaniawan untuk meminta pertolongan sang ruhaniawan untuk mendo’akan sapinya agar sembuh seperti sediakala sehingga ia dapat menikmati susu segar sapi tersebut serta menjualnya.
Timbul rasa enggan dan meremehkan dalam hati sang ruhaniawan mengingat yang datang hanyalah seorang anak kecil, apalagi yang sakit hanyalah seekor sapi, bukan manusia, lagipula hujanpun turun. Namun, karena desakan sang anak kecil yang penuh iba, ia pun berangkat.
Sesampainya di kandang sapi, sang ruhaniawan pun berdo’a dengan penuh kekesalan, “Wahai sapi, kalau kau mau sembuh, sembuhlah, jangan menyusahkan orang. Tetapi kalaupun akhirnya kau mati, matilah”.
Setelah itu sang ruhaniawan pun pulang. Beberapa waktu kemudian, kondisi sapipun pulih dan perlahan-lahan sembuh, bahkan dapat mengeluarkan susu sehingga sang anak dapat menikmati susu kembali. Sang anakpun gembira dan semakin kagum kepada sang ruhaniawan.
Selang beberapa bulan kemudian, karena usia sudah tua, sang ruhaniawan pun jatuh sakit. Berita sakitnya sang ruhaniawan terdengar oleh sang anak. Ia ingin sekali membalas budi kepada sang ruhaniawan yang telah sudi berdo’a untuk kesembuhan sapinya. Iapun memutuskan untuk berangkat melawat sang ruhaniawan dan mendo’akan agar sang ruhaniawan sembuh.
Sesampainya di sana, didapati sang ruhaniawan terbaring lemah di tempat tidur. Ia pun minta izin untuk mendo’akan sang ruhaniawan, lalu iapun berdo’a: “ Wahai Bapak, kalau kau mau sembuh, sembuhlah, jangan menyusahkan orang. Tetapi kalaupun akhirnya kau mati, matilah”.
Esensi Pendidikan
Keteladanan merupakan syarat utama dalam suatu proses pendidikan. Tidak ada makna pendidikan jika tidak ada keteladanan. Dalam Pembukaan Diklat Integrasi Imtaq, Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa pendidikan memiliki tiga proses yang saling kait mengait dan saling pengaruh mempengaruhi satu dengan yang lain. Pertama, sebagai proses pembentukan kebiasaan (habit formation). Kedua, sebagai proses pengajaran dan pembelajaran (teaching and learning process), dan ketiga adalah sebagai proses keteladanan yang dilakukan oleh para guru (role model).
Di samping itu, tiga syarat penting dalam proses mendidik dan mengajar yang pertama adalah cinta, kedua adalah kepercayaan, dan ketiga adalah kewibawaan. Ketiga syarat ini saling mempengaruhi dan saling kait mengait. Cinta akan menimbulkan kepercayaan.. Seterusnya, kepercayaan akan menghadirkan kewibawaan. Kewibawaan adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi orang lain. Kewibawaan akan lahir jika ada kepercayaan. Kepercayaan akan muncul jika ada keteladanan.
Teorema Tabularasa
Anak-anak bisa diibaratkan sehelai kertas putih yang masih kosong. Lingkunganlah yang memberi warna pada kertas putih tersebut. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi, membutuhkan pertolongan, perlindungan serta rasa aman. Syekh Naraqi, seperti dikutip Baqir Sharif al-Qarashi dalam bukunya Kiat-kiat Menciptakan Generasi Unggul: Seni Mendidik Islami (Pustaka Zahra: 2003), berkata, “Anak-anak yang terabaikan pada tahap paling awal perkembangannya kebanyakan akan memilih akhlak yang buruk. Mereka terutama akan lebih berdusta, iri serta keras kepala dan menjadi pencuri, pengkhianat, serta kurang ajar. Dalam kasus lainnya, anak semacam itu lemah, tak bermoral dan suka pamer.”
Sejalan dengan pendapat di atas, Neno Warisman (pengelola Yayasan Buah Hati), mengatakan bahwa dalam membelajarkan sesuatu kepada anak, pada intinya kita harus menyertakan tiga unsur yakni hati, telinga dan mata. Dia mencontohkan, ketika orang tua mengenalkan sopan-santun, maka sebaiknya mereka tak hanya memberikan nasehat atau perintah, tapi juga contoh nyata. Tanpa contoh nyata (keteladanan) perintah ataupun nasehat tidak akan bertahan dalam waktu lama. Apalagi yang ingin ditanamkan pada anak berupa nilai-nilai moral/etika dan nilai keagamaan.
Sejatinya saat berkenaan dengan nilai agama, nilai moral/etika memang tidak cukup jika orang tua/pendidik hanya cuma memberikan petuah dan perintah saja. “Mereka memerlukan dukungan yang lebih penting, yakni keteladanan agar setiap nilai yang hendak disampaikan menjadi lebih bermakna.”
Tak hanya itu, Dr. Seto Mulyadi (Kak Seto) juga menegaskan dari semua hal yang perlu diajarkan kepada anak, unsur keteladanan dari orang tua berada di posisi teratas. “Anak-anak di usia dini akan mudah meniru apa pun yang dilihatnya. Jadi, ketika orang tua menerapkan perilaku terpuji dan bertutur kata yang halus, itu sudah merupakan permulaan pendidikan agama (etika) kepada anak-anak,” kata dia.
Tugas Pendidik
Sejatinya ada dua tugas utama para pendidik yang harus melekat dalam proses pendidikan, yaitu transformasi ilmu dan transformasi nilai. Tidak seimbang jika suatu institusi pendidikan hanya mengisi dimensi intelektualnya semata, namun mengabaikan dimensi emosional dan etika peserta didik. Untuk itu, para pendidik selain cerdas dan trampil dalam mentransfer ilmu pengetahuan sekaligus menjadi sosok “yang digugu dan di tiru”. Seorang pendidik yang tidak memiliki dimensi keteladanan akan menjadi sosok yang tidak mendapat rasa simpatik dari anak didiknya, tetapi bisa menjadi justru sebaliknya mendapat cemooh dari anak didiknya.
Pepatah “Kalau gurunya kencing berdiri maka muridnya kencing berlari” adalah sebuah gambaran bahwa dari diri seorang pendidik sangat diperlukan sebuah transformasi nilai. Alangkah naifnya dan kontradiktifnya jika seorang pendidik melarang anak didiknya berkuku panjang sementara sang pendidik berkuku panjang. Alangkah antagonisnya jika orang tua menyuruh anaknya shalat, sementara orangtuanya tidak shalat.
Dalam pandangan J. Sudarminta, pendidikan nilai-nilai kehidupan sebagai bagian integral kegiatan pendidikan pada umumnya adalah upaya sadar dan terencana membantu anak didik mengenal, menyadari, menghargai, dan menghayati nilai-nilai yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku sebagai manusia dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Pendidikan nilai akan membuat anak didik tumbuh menjadi pribadi yang tahu sopan-santun, memiliki cita rasa seni, sastra, dan keindahan pada umumnya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia, memiliki cita rasa moral dan rohani. “Pendidikan nilai-nilai kehidupan tidak dapat berlangsung baik kalau tidak ditunjang keteladanan pendidik dan praksis sosial yang kontinu dan konsisten dari lingkungan sosial,” ujarnya.
Sedangkan Tony Soehartono menyatakan, proses belajar-mengajar harus mencakup tiga ranah pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, konsep pendidikan di Indonesia cenderung mengarah pada ranah kognitif, sedangkan ranah afektif dan psikomotorik ditempatkan pada peran sekunder. “Pendidik secara terus-menerus harus diberi pemahaman bahwa nilai-nilai kehidupan tidak bisa begitu saja diajarkan, tetapi harus disertai keteladanan oleh pendidik itu sendiri,” katanya.
Tags: Goresan Pena
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
©2011 Najih Andrianto. Diberdayakan oleh Blogger.
Share your views...
0 Respones to "Mendidik Anak Dengan Keteladanan"
Posting Komentar